Jenis Titrasi EDTA
Prosedur-prosedur yang paling penting untuk titrasi ion-ion logam dengan EDTA, adalah:
1. Titrasi langsung. Larutan yang mengandung ion logam yang akan ditetapkan, dibufferkan samapi ke pH yang dikehendaki (misalnya, sampai pH = 10 dengan NH4+ larutan air NH3), dan titrasi langsung dengan larutan EDTA standar. Mungkin adalah perlu untuk mencegah pengendapan hidroksida logam itu (atau garam basa) dengan menambahkan sedikit zat pengkompleks pembantu, seperti tartrat atau sitrat atau trietanolamina. Pada titik ekivalen, besarnya konsentrasi ion logam yang sedang ditetapkan itu turun dengan mendadak. Ini umumnya ditetapkan dari perubahan-perubahan pM: titik akhir ini dapat juga ditetapkan dengan metode-metode amperometri, kondutometri, spektrofotometri, atau dalam beberapa keadaan dengan metode potensiometri.
2. Titrasi-balik. Karena berbagai alasan, banyak logam tak dapat dititrasi langsung, mereka mungkin mengendap dari dalam larutan dalam jangka pH yang perlu untuk titrasi, atau mereka mungkin membentuk kompleks-kompleks yang inert, atau indikator logam yang sesuai tidak tersedia. Dalam hal-hal demikian, ditambahkan larutan EDTA standar berlebih, larutan yang dihasilkan dibufferkan samapi ke pH yang dikehendaki, dan kelebihan reagnesia dititrasi balik dnegan suatu larutan ion logam standar, larutan zink klorida atau sulfat atau magnesium klorida sering digunakan untuk tujuan ini. Titik akhir dideteksi dengan bantuan indikator logam yang berespons terhadap ion logam yang ditambahakn pada titrasi balik.
3. Titrasi penggantian atau titrasi substitusi. Titrasi-titrasi substitusi dapat digunakan untuk ion logam yang tidak bereaksi (atau berekasi denagn tak memuaskan) dengan indikator logam, atau untuk ion logam yang membentuk komplkes EDTA yang lebih stabil daripada komplkes EDTA dari logam-logam lainnya seperti magnesium dan kalsium. Kation Mn+ yang akan ditetapkan dapat diolah dengan kompleks magnesium EDTA, pada mana reaksi berikut terjadi :
Mn+ + MgY2- ? (MY)(n-4)+ + Mg2+
Jumlah ion magnesium yang dibebaskan adalah ekivalen dengan kation-kation yang berada di situ, dapat dititrasi dengan suatu larutan EDTA standar serta indikator logam yang sesuai. Satu penerapan yang menarik adalah titrasi kalsium. Pada titrasi langsung ion-ion kalsium, Hitam Solokrom (Hitam Erikrom T) memberi titik akhir yang buruk; jika magnesium ada serta, logam ini akan digantiakn dari komplkes EDTA-nya oleh kalsium, dan menghasilkan titik kahir yang lebih baik.
4. Titrasi alkalimetri. Bila suatu larutan dinatrium etilenadiaminatetraasetat, NaH2Y, ditambahkan kepada suatu larutan yang mengandung ion-ion logam, terbentuklah kompleks-kompleks dengan disertai pembebasan dua ekivalen ion hidrogen :
Mn+ + MgY2- ? (MY)(n-4)+ + 2H+
Ion hidrogen yang dibebaskan demikian dapat dititrasi dengan larutan natrium hidroksida standar dengan menggunakan indikator asam-basa, atau titik akhir secara potensiometri; pilihan lain, suatu campuran iodida-iodida ditambahkan disamping larutan EDTA, dan iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan tiosulfat standar. Larutan logam yang akan ditetapkan harus dinetralkan dengan tepat sebelum titrasi; ini sering merupakan hal yang sukar, yang disebabakan oleh hidrolisis banyak garam, dan merupakan segi lemah dari titrasi alkalimetri.
5. Macam-macam Metode. Reaksi pertukaran anatra ion tetrasianonikelat(II) [Ni(CN)4]2- (garam kaliumnya mudah dibuat) dan unsur yang
[Ni(CN)4]2- + 2Ag+ ? 2[Ag(CN)2]- + Ni2+
Reaksi ini berlangsung dengan garam perak yang hanya sedikit sekali dapat larut, jadi memberi satu metode untuk penetapan ion halida Cl-, Br-, I-, dan ion tiosianat SCN-. Anion-anion ini mula-mula diendapkan sebagai garam perak, dan garam perak ini dilarutakn dalam larutan [Ni(CN)4]2-, dan nikel yang dengan demikian dibebaskan dalam jumlah ynag ekivalen, lalu ditetapkan dengantitrasi cepat dengan EDTA dengan menggunakn indikator yang sesuai (Mureksida, Merah Bromopirogalol).
Sulfat dapat ditetapkan dengan mengendapkannya sebagai Barium sulfat atau Timbel sulfat, endapan dilarutkan dalam larutan EDTA standar berlebih, dan kelebihan EDTA dititrasi balik dengan larutan Magnesium atau Zink standar dengan menggunkan Hitam Solokrom (Hitam Erikrom T) sebagai indikator.
Fosfat dapat ditetapakan dengan mengendapkannya sebagai Mg(NH4)PO4.6H2O, melarutkan endapan dalam asam klorida encer, dan menambahkan larutan EDTA standar berlebih, serta membufferkan pada pH = 10, dan menitrasi-balik dengan larutan ion Magnesium standar dengan adanya Hitam Solokrom.
Pemisahan berdasarkan penukaran anion
Karena banyaknya logam yang dapat dititrasi dengan EDTA, maka masalah selektivitas menjadi penting. Pemisahan berdasarkan penukaran anion atau ekstraksi pelarut perlu dilakukan terhadap suatu campuran. Selektivitas dapat diperbaiki dengan mengendalikan pH pemakaian pengompleks sekunder (sequistering agent), pemilihan penitrannya dan pengendalian laju reaksi. Kompleks yang stabil biasanya terbentuk pada pH rendah seperti Fe(pH=2,0), Al3+, Zr4+, B3+ semua dititrasi pada pH 5. pada titrasi Ca, untuk menghindarkan interferensi dari Zn, Cd, ion - ion ini dimasking dengan KCN. Misal: Ca, Mg dapat dititrasi pada pH 10 dengan penmabahan nitril glikolat, yang akan membebaskan Zn, Cd dari kompleks dengan EDTA. BAL, atau 2,3 dimerkaptopropanol dapat digunakan sebagai masking agent untuk Zn, Bi, Pb, Hg. Thiourea, asam tiogikolat, thiosemicarbazid dapat digunakan sebagai elemen masking melalui pembentukan sulfida yang tidak larut. EDTA dapat digunakan untuk menitrasi Ca dalam campuran Mg dengan mempergunakan indikator murexide. Campuran Cd, Zn dapat dititrasi dengan EDTA, dengan menggunakan buffer NH3-NH4Cl, karena Cd(NH3)2 kurang stabil dibandingkan Zn(NH3)2 sehingga EDTA hanya menitrasi Cd.
Dengan menggunakan zat-zat penopeng beberapa kation dalam suatu campuran serung dapat ditutupi sehingga tak dapat lagi bereaksi dengan EDTA atau dengan indikator. Satu zat penopeng yang efektif adalah ion sianida; ion ini membentuk kompleks-kompleks sianida yang stabil dengan kation Cd, Zn, Hg(II), Cu, Co, Ni, Ag, dan logam-logam platinum, tetapi tidak dengan alkali-alkali tanah, mangan, dan timbel:
M2+ + 4CN- ? [Mn(CN)4]2-
Karena itu adalah mungkin untuk menetapkan kation seperti Ca2+, Mg2+, Pb2+, dan Mn2+ dengan adanya logam-logam yang disebut di atas, dengan menutupnya dengan Kalium atau Natrium sianida berlebih. Besi dan jumlah yang sedikit, dapat ditutup dengan sianida, jika ia direduksi dulu ke keadaan besi(II) dengan penambahan asam askorbat. Titanium(IV), besi(III), dan alumunium dapat ditutup dengan trietanol amina; merkurium dengan ion iodida; dan alumunium, besi(III), titanium(IV), dan timah(II) dengan amonium fluorida (kation-kation dari logam-logam alkali tanah menghasilkan fluorida-fluorida yang dapat larut sedikit).
Kadang-kadang logam itu dapat diubah ke keadaan oksidasi yang berbeda; begitulah, tembaga(II) dapat direduksi dalam larutan asam oleh hidroksilamina atau asam askorabat. Setelah dijadikan amonikal, nikel atau kobalt dapat dititrasi dengan menggunakan misalnya, mureksida sebagai idikator tapa terganggu oleh tembaga, yang sekarang berada sebagai Cu(I). Besi(III) sering dapat ditutupi serupa dengan mereduksinya dengan asam askorbat.
Keberhasilan suatu titrasi EDTA bergantung pada penetapan titik akhir secara cermat. Prosedur - prosedur yang paling umum mempergunakan indicator ion logam. Persyaratan bagi sebuah indicator ion logam untuk digunakan pada pendeteksian visual dari titik - titik akhir meliputi :
a) Reaksi warna harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hamper semua ion logam telah berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat.
b) Reaksi warna itu haruslah speaifik (khusus), ayau sedikitnya selektif
c) Kompleks indicator logam itu harus memilikikestabilan yang cukup, kalu tidak, karena disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun, kompleks indicator logam itu harus kurang stabildibanding kompleks logam EDTA untuk menjamin agar pada titik akhir, EDTA memindahkan ion - ion logam dari kompleks indicator logam itu. Perubahan dalam kesetimbanagan dari kompleks indicator logan ke kompleks logam EDTA harus tajam dan cepat.
d) Kontras warna antara indicator bebas dan kompleks indicator logam harus sedemikian sehinggan mudah diamati.
e) Indikator harus angat peka terhadap ion logam (yaitu, terhadap pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik ekuivalen.
f) Persyaratn diatas harus dipenuhi dalam jangkau pH padamana titrasi dilakukan.
Karena semua indikator ini asam lemah harga K’zn tergantung pada tetapan ionisasi asam dari reagennya dan pada pH. Jika log Kzn setara dengan pM pada titik ekivalen, dan jika jumlah indikatornya sedikit, maka kurva antara perubahan warna terhadap jumlah titran yang setara akan simetris. Indikator dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan kesalahan titrasi. Kompleks logam adalah merah lembayung tetapi indikator ini tidak efisien pada pH < 8,0. diatas pH 6,0 xylenol orange tidak efektif sebagai indikator. Murexida mempunyai daerah pH luas, dimana pK1=0, pK2=9,2 dan pK3=10,5. celcin biru adalah indikator pendar-fluor yang efektif pada pH netral. Kadangkala kompleks yang terlalu kuat atau terlalu lemah terbentuk dengan EBT dalam titrasi langsung. Kompleks yang kuat dapat mengurangi fungsinya sebagai indikator seperti Cu, Co, Ni membentuk kompleks logam EBT yang stabil dan menggunakan KCN untuk menyembunyikan ( masking ) logam ini. Reaksi demikian terjadi dalam analisis air dimana sampel terkontaminasi oleh tembaga. Sebaliknya bila kompleks logam indikator adalah lemah, maka EDTA dapat ditambahkan berlebih kemudian dititrasi balik dengan larutan standar.
Titrasi substitusi kompleks dapat dilakukan dengan penambahan Mg(EDTA)2 terhadap garam Ca2+, akan diperoleh Ca(EDTA)2 dan Mg2+ bebas, yang kemudian dapat membentuk kompleks berwarna dengan EBT yang dititrasi dengan titran EDTA. Pemberian titik tajam Hg dapat dititrasi dengan menggunakan kompleks Mg atau Zn EDTA. Mg2+ bebas ini dapat dititrasi kembali dengan EDTA.
Mureksida merupakan indikator ion logam pertama yang digunakan dalam titrasi EDTA. Larutan - larutan murekida berwarna violet kemerahan sampai pH = 9, violet dari pH 9 sampai pH 11, dan violet biru (atau biru) diatas pH 11. Perubahan warna ini mungkin disebabkan oleh menyingkirkan proton secara berangsur-angsur dari gugus imido; karma 4 gugus demikian, mureksida dapat dinyatakan sebagai H4D. Hanya 2 dari keempat Hidrogen yang bersifat asam ini dapat disingkirkan dengan menambahkan suatu alkali hidroksida, sehingga hanya 2 niali pK yang perlu dipertimbangkan.
Titrasi Redoks
by Dunia Ilmu Mahasiswa | 06:28 in |
2.1. Pengertian Oksidasi-Reduksi
Valensi dan bilangan oksidasi (BO) merupakan pengertian tidak sama. Valensi dalam perkembangan histories Ilmu Kimia diartikan sebagai “daya ikat” atau berapa banyak atom H diikat oleh satu atom unsure yang bersangkutan (atau, sebagai ganti atom H, berapa atom univalent lain atau 2x jumlah atom O). Bilangan oksidasi (atau tingkat oksidasi) ialah berapa electron (muatan) dianggap ada/dipunyai oleh atom tersebut, seakan-akan dalam ikatan kimia, electron sepenuhnya pindah dari atom satu ke atom yang lain, tetapi sedemikian rupa, sehingga molekul secara keseluruhan tak bermuatan.
Maka valensi dalam arti sempitnya itu merupakan bilangan bulat dan harus positif dan punya akar dalam kenyataan, walaupun tidak mencerminkan teori. Valensi penting dalam pengertian rumus bagun. Sebaliknya bilangan oksidasi dapat positif maupun negative; umumnya nilainya sama dengan nilai valensi tetapi ada kalanya berbeda, malahan tidak selalu bulat, dapat juga pecahan. Perbedaan ini terjadi karena BO merupakan hasil perhitungan dan sebenarnya tidak punya dasar riil. Perbedaan nilai ini dengan valensi terjadi antara lain kalau dalam molekul terdapat ikatan antara atom-atom unsure sejenis (misalnya dalam ikatan organik). BO sangat membantu untuk mengerti reksi oksidasi-reduksi (redoks) dan perhitungan yang bersangkutan dengan redoks, misalnya dalam penentuan koefesien reaksi.
Oksidasi ialah reksi yang menaikkan BO suatu unsure dalam zat yang mengalami oksidasi, dapat juga dilihat sebagai kenaikan muatan positif (penurunan muatan negatif) dan umumnya juga kenaikan valensi. Sebaliknya ialah reduksi, yaitu reaksi yang menurunkan BO atau muatan positif (menaikkan muatan negatif) dan umumnya menurunkan valensi unsure dalam zat yang direduksi . Jadi sekalipun kita mereduksi atau mengoksidasi suatu persenyawaan, sebenarnya yang dioksidasi atau reduksi itu ialah unsure tertentu yang terdapat di dalam pesenyawaan tersebut. Miasalnya:
MnO2 + 4 HCl MnCl2 + Cl2 + 2 H2O
Dalam reaksi ini, MnO2 ialah oksidator dan HCl, sedang HCL mereduksi atau dioksidasi oleh MnO2. Tetapi, seperti disebut di atas, yang dioksidasi ataupun direduksi ialah suatu unsure dalam persenyawaan-persenyawaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang dioksidasi ialah unsure Cl karena tampak berubah (naik muatan positifnya) dari Cl di dalam HCl, menjadi Cl dalam molekul Cl2. Yang diredusi ialah unsure Mn karena berubah (turun) BO-nya dari +4 dalam MnO2 menjadi +2 dalam MnCl2.
2.2. Kemungkinan Terjadinya Suatu Reaksi Redoks
Bila zat A direkasikan dengan zat B, bagaimana diketahui apakah akan terjadi reaksi redoks atau bukan redoks? Untuk menjawab pertanjaan ini harus diperhatiakan:
1. tingkat oksidasi/valensi unsure-unsur dalam A maupun B, apakah ada yang dapat naik dan ada yang turun BO-nya.
2. bila ada, apakah A oksidator cukup kuat dan B reduktor cukup kuat, ataupun sebaliknya;
3. hal-hal lain.
A harus berisi unsure yang dapat dioksidasi dan B berisi unsure yang dapat direduksi atau sebaliknya. Misalnya reaksi antara asam nitrat dan ferrioksida
HNO3 + Fe2O3 ?
Bukan reaksi redoks karena H,N, dan Fe sudah mempunyai BO tertinggi sehingga kedua zat tidak dapat dioksidasi, hanya dapat direduksi (untuk reaksi redoks, satu harus dapat dioksidasi dan satu harus dapat direduksi). Juga reaksi antara asam nintrat dan kalium hidroksida
HNO3 + KOH
Tidak mungkin redoks.
Lain halnya dengan reaksi :
FeSO4 + I2 ?
Yang mungkin berlangsung sebagai reaksi redoks, karena Fe (+2) dapat naik BO menjadi Fe (+3), dan di pihak lain I (0) masih dapat turun menjadi I (-1). Maka mungkin terjadi reaksi redoks dengan FeSO4 sebagai reduktor dan I2 sebagai oksidator.
Contoh lain yang mungki menghasilkan reaksi redoks ialah :
MNO2 + NaBr + H2SO4 ?
Karena Mn (+4) dapat menjadi (+2); Br (-1) dapat menjadi (0) atau lebih.
2.3. Kesempurnaan Titrasi Redoks
Rumus Nernt
Apakah arti sebenarnya kalau dikatakan, sistem Fe + e Fe (Fe, Fe) mempunyai E sebesar 0,771 volt? Artinya ialah, apabila suatu larutan berisi kedua ion tersebut yang konsentrasinya masing-masing 1M dan dalam larutan itu dimasukkan sebuah lempengan atau kawat logam sebagai elektroda, maka antara larutan dan elektroda terdapat tergantung sebesar 0,771 volt. Demikian pula, bila di dalam sebuah larutan lain terdapat campuran berisi ion-ion MNO4, H, dan Mn masing-masing dengan konsentrasi ! M, serta tercelup elektroda ke dalamnya antara elektroda dan larutan itu terdapat tegangan sebesar 1,51 volt karena sistem MNO4 + 8 H + 5 e Mn + 4 H2O mempunyai Esebesar itu.
2.4. Kurva Titrasi Redoks
Bahwa pada setiap titrasi selalu terbentuk kesetimbangan antara titrant yang sudah ditambahkan dan titrat. Ini merupakan dasar utama perhitungan titik-titik kurva titrant. Dalam hal ini, ordinat ialah potensial larutan, sebab inilah yang mencirikan keadaan larutan pada setiap saat titrant dan berubah bersama dengan penambahan titrant.
Dalam membentuk kurva titrasi dengan titrasi redoks, biasanya diplot grafik E sel (terdapat SCE) dengan volume dari titrant. Seperti diketahui sebagaian besar indicator redoks redoks memang sensitive tetapi indicator ini sendiri merupakan oksidator atau reduktor, sehingga perubahan potensial sistem indicator juga perlu dipertimbangkan selama titrasi. Oleh karena itu pada titrasi potensiometri, dimana E sel (dibandingkan terhadap elektroda pembanding) dibaca selama titrasi, titik ekivalen ditentukan dari kurva titrasinya. Perubahan potensial akibat penambahan Nernst asalkan potensial elektroda standar diketahui. Misalnya pada suatu jenis kurva titrasi dengan mempertimbangkan potensial reduktor oksidasi pada titik kesetimbangan (Eeg). Persamaan Nernst menyatakan:
E = E - log
Untuk reaksi:
Fe + Ce = Fe + Ce
Pada kesetimbangan potensial elektroda untuk dua setengah reaksi adalah sama.Ece = EFe= Esistem. Ini adalh potensialnya dari sistem. Untuk indicator redoks berlaku pula: Ece = EFe = Esistem.
2.5. Jenis-jenis Titrasi Oksidasi-Reduksi
Titrasi redoks dapat dibedakan menjadi beberapa cara berdasar pemakaiannya:
1. Na2S2O3 sebagai titrant; dikenal sebagai yodometri tak langsung
Analat harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat selalu direduksi dulu dengan KI sehingga terjadi I2. I2 inilah dititrasi dengan Na2S2O3:
OKsanalat + I Red analat I2 (…1)
2 S2O3 + I2 S4O6 + 2 I (…2)
Daya reduksi ion yodida cukup besar dan titrasi ini banyak diterapkan. Reaksi S2O3 dengan I2 berlangsung baik dari segi kesempurnaannya, berdasarkan potensial redoks masing-masing:
S4O6 + 2 e 2 S2O3 E = 0,08 volt (…3)
I2 + 2 e 2 I E = 0,536 volt (…4)
Selain itu, reaksi berjalan cepat dan bersifat unik karena oksidator lain tidak mengubah S2O3 menjadi S4O6 melainkan menjadi SO3 seluruhmya atau sebagaian menjadi SO4.
Titrasi dapat dilakukan tanpa indicator dari luar karena warna I2 yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula coklat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning, kuning-muda, dan seterusnya, samapai akhirnya lenyap. Bila diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka titik akhir dapat ditentukan dengn cukup jelas. Konsentrasi 5 x 10 M yod masih tepat dapat dilihat dengan mata dan memungkinkan penghentian titrasi dengan kelebihan hanya senilai 1 tetes yod 0,05 M. Namun lebih amudah dan lebioh tegas bila ditambahakan amilum kedalam larutan sebagai indicator. Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas sekalipun I2 sedikit sekali. Pada titik akhir, yod yang terikat itu pun hilang bereaksi dengan titrant sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan warnanya tampak sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai mendekati titik akhir titrasi (bila yod sudah tinggal sedikit yang tanpa dari warnanya yang kuning-muda). Maksudnya ialah agar amilum tidak membungkus yod dan menyebabkan sukar lepas kembali. Hal ini akan berakibat warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik akhir tidak kelihatan tajam lagi. Bila yod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik akhir.
1. Larutan Na2S2O3
Larutan ini biasanya dibuat dari garam, Na2S2O3. 5 H2O. Karena BE = BM-nya (248,17) maka dari segi ketelitian penimbangan, hal ini menguntungkan. Larutan ini perlu distandardisasi. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh Ph rendah, sinar matahari, dan terutama adanya bakteri yang memanfaatkan S. Pada PH rendah (<5)>
S2O3 + H HSO3 + S
Tetapi karena reaksi ini berjalan lambat, kesalahan tidak perlu dikuartirkan walaupun larutan yang dititrasi cukup asam asal titrasi dilakukan dengan penambahan titrant yang tidak terlalu cepat. Bakteri dapat menyebabkan perubahan S2O3 menjadi SO3, SO4 dan S . S ini tanpa sebagian endapan koloida yang membuat larutan menjadi keruh; ini pertanda larutan harus diganti. Untuk mencegah aktivitas bakteri, pada pembuatan larutan hendaknya dipakai air yang sudah dididihkan; selain itu dapat ditambahakan pengawet seperti misalnya klorofom, natrium benzoate, atau HgI2.
Kestabilan larutan Na2S2O3= dalam penyimpangan ternyata paling baik bila mempunyai pH antara 9 dan 10, mungkin karena aktivitas bakteri yang minimal. Untuk kebutuhan biasa, pH 7 sudah sangat memadai. Walupun demikian, larutan Na2S2O3 harus sering distandardisasi ulang.
2. Sumber kesalahan Titrasi
● Kesalahan Oksigen: Oksigen di udara dapat menyebabkan hasil titrasi terlalu tinggi karena dapat mengoksidasi ion yodida menjadi I2 juga sebagai berikut :
O2 + 4 + 4 H 2 I2 + 2 H2O
● Pada Ph tinggi muncul bahan lain, yaitu bereaksinya I2 yang berbentuk dengan air (hidrodisa) dan hasil reaksinya lanjut:
I2 + H2O HOI + I + H (a)
4 HOI + S2O3 + H2O 2 SO4 + 4 I + 6 H (b)
● Di atas sudah disebutkan bahaya kesalahan karena pemberian amilum terlalu awal.
● Banyak reaksi analat dengan KI yang berjalan agak lambat. Karena itu sering kali harus ditunggu sebelum titrasi; sebaliknya menunggu terlalu lama tidak baik karena kemungkinan yod menguap.
C. Berat ekivalen
Dalam titrasi ini, BE suatu zat dihitung dari banyaknya zat mol) yang menghasilkan atau membutuhkan satu mol atom yod (bukan ion yodida).
BE =
3. Bahan Baku Primer
● I2 murni atau dimurnikan dengan jalan disublimasikan. BE cukup tinggi (126,9). Yod mudah menguap, maka bahan ini harus ditimbang dalam botol tertutup
● KIO3 kemurnianya baik, tetapi Be agak terlalu rendah (35,67)
● K2 Cr2O7 juga mudah sekali diperoleh dalam keadaan murni, tetapi juga agak rendah BE-nya (49,03). Reaksinya dengan KI harus ditunggu beberapa lama senelumnya dititrasi.
2. I2 sebagai titrant; dikenal sebagai titrasi yodometri langsung dan kadang-kadang dinamakan yodimetri
Dalam metode ini, analat dioksidasi oleh I2 sehingga I2 tereduksi menjadi ion yodida:
Ared + I2 Aoks + I, Yod meruapakan oksidator yang tidak terlalu kuat , sehingga hanya zat-zat yang merupakan dari tak berwarna menjadi warna biru.
1. Larutan Baku Yod
Yod (I2) sebagai zat padat sukatr larut dalam air , yaitu hanya sekitar 0,0013 mol per liter pada 25 C, tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk ion I3 sebagai berikut:
I2 + I I3 (ion triyodida)
Maka larutan dibuat dengan KI sebagai pelarut. Larutan yod ini tidak stabil, sehingga standardisasi perlu dilakukan berulang kali.
2. Kesempurnaan Reaksi
Sebagai oksidator lemah, yod tidak dapat bereaksi terlalu sempurna. Karena itu sering dibuat kondisi yang menggeser kesetimbangan kea rah hasil reaksi antara lain dengan mengatur Ph atau menambahkan bahan pengkomleksan seperti yang dilakukan pada titrasi Fe dengan pemberian EDTA atau P2O7.
3. Suatu oksidator kuat sebagai titrant. Diantaranya yang paling sering dipakai ialah:
1. KMnO4
2. K2Cr2O7
3. Ce (IV)
4. Suatu reduktor kuat sebagai titrant
Larutan bahan pereduksi sering penggunaanya karena sangat mudah teroksidasi oleh udara. Akibatnya, kadang-kadang titrasi harus dilakukan dalam atmosfer insert, misalnya dengan mengalirkan N2 atau CO2 ke dalam atau ke atas titrat. Juga penyimpangan larutan memerlukan lingkaran inert. Cara lain ialah menambahkan pereduksi berlebih, lalu menitrasikannya kembali dengan oksidator untuk menentukan kelebihannya; oksidator yang dipakai dapat misalnya kalium bikhromat
1. Pereduksi-pereduksi kuat yang dapat dipakai sebagai titrant antara lain ialah titrant (III) dan khrom (II) yang cepet sekali bereaksi dengan udara sehingga harus digunakan dengan gas inert N2 atau CO2.
2. Natrium tiosulfat sebagai titrant untuk yodometri tak langsung sudah dibicarakan.
3. Larutan Fe dengan mudah dapat dibuat dari garam Mohr, Fe(NH4)2 (SO4)2.6 H2O atau garam Oesper, FeC2H4 (NH4)2.4 H2O (ferro etilendiammonium sulfat). Dalam larutan netral, Fe (II) cepat teroksidasi oleh udara, tetapi hal itu dapat dicegah bila larutan diasami dan larutan paling stabil dibuat dengan H2SO4 sekitar 0,5 M. Larutan demikian perlu distandarisasi setiap kali hendak dipakai.
2.6. Indikator Oksidasi Reduksi
Terdapat dua jenis indicator redoks:
1. Indikator spesifik, yaitu indicator yang bereaksi hanya dengan salah satu komponen yang berhubungan dalam titrasi.
Contoh: amilum, KSCN.
2. Indikator redoks asli, yaitu idikator yang peka terhadap potensi sistem. Reaksiseparuh sel yang menyebabkan perubahan warna dapat dijelaskan dengan persamaan berikut:
3. Inox + ne = Inred Jika E = E- log
Biasanya konsentrasi suatu pereaksi berubah 100 kali lipat, yaitu harga (Inred)/(Inoks) berubah dari 0,1 ke 10 maka:
E = E.Berarti suatu indicator akan menunjukkan perubahan warna yang dapat didetreksi bila penentrasi menyebabkan suatu pergeseran sekitar (0,0118/n)V atau 0,059 V bila n = 2.
Indikator ini berfungsi sampai 1,25V. Jika reksinya meliputi hanya satu electron, perbedaan potensial standar reagen dan zat yang dianalisis besarnya 0,4 V; bila ada transfer dua electron perbedaannya sebesar 0,25 V. Maka titrasi ini dapat ditentukan oleh reaksi potensiometri.
2.7. Penentuan Titik Akhir pada Titrasi Redoks
Biasanya dua jenis indicator digunakan untuk menentukan titik akhir. Indikator tersebut adalah indicator eksternal maupun indicator internal. Biasanya indicator eksternal digunakan dalam uji bercak.Contohnya : K3Fe(CN)6 untuk Fe. UO2(NO3)2 untuk Zn. Indikator eksternal dapat digantikan oleh indicator redoks internal. Indikator terdiri dari jenis ini harus menghasilkan perubahan potensial oksidasi di sekitar titik ekivalen reaksi redoks. Yang terbaik adalah indicator 1.10-fenantrolin, indicator ini mempunyai potensi oksidasi pada harga antara potensial larutan yang titrasi dan penitrannya sehingga memberikan titik akhir yang jelas.
(fen)3Fe + e (fen)3 Fe E = 1,06 V – 1,11 V
Biru Merah
Garam kompleks yang diperoleh dari pencampuran secara ekivalen 1.10-fenantrolin dan FeSO4 membentuk kompleks khelat yang disebut “ferroin”. Pertukaran electron berlangsung melalui cincin aromatic. Kompleks Fe dengan 5-nitro-1, 10-fenantrolin dan 5-metil-1-10-fenantrolin masing-masing dikenal sebagai nitroferrolin (E= 1,25 V) dan metal-ferroin (E = 1,02 V). Kompleks Fe dengan 4-7 dimetil fenantrolin mempunyai harga E= 0,921 V dalam 0,5 M H2SO4. Turunan-turunan lain yang sering digunakan adalah 5,6-dimetil; 3,5,7 trimetil; 3,4,6,7-tetrametil; 5 fenil; 5-khloroferroin. Kemudian indicator trimetil metana; turunan ini digunakan dalam suasan larutan alkalis dan netral. Misalnya saja eroglaucine A (0,98 V), erigren B (0,99 v), eriogren semuanya berubah warnanya dari kuning ke jingga pada peristiwa oksidasi. Pada keadaan tersebut titrasi kembali tidak mungkin dilakukan karena perubahan warnanya tidak reversible. Difenil amin dalam H2SO4 juga merupakan indicator yang sering digunakan.
2.8.Pemakaian Iodium Sebagai Regen Redoks
Karena harga Eiodium berada pada daerah pertengahan maka sistem iodium dapat digunakan untuk oksidator maupun reduktor. Jika Etidak tergantung pada pH (pH <>
I2 + 2 e 2 I , E = 0,535 V
I2 adalah oksidator lemah sedangkan iodide secara relative merupakan reduktor lemah. Kelarutannya cukup baik dalam air dengan pembentukan triodida [KI3]. Oleh karena itu
I2 + 2 e 2 I , E = 6,21 adalah reaksi pada permulaan reaksi. Iodium dapat dimurnikan dengan sublimasi. Ia larut dalam larutan KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin dan gelap. Dapat distandarisasi adalah As2O3. Berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara menyebabkan banyak kesalahan analisis. Cara lain standarisasi dengan Na2S2O3. 5H2O. Larutan thiosulfat distandarisasi lebih dahulu terhadap K2CrO7. Reaksinya :
Cr2O7 + 14 H + 6 I 3 I2 + 2Cr + 7H2O
Biasanya indicator yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi <>
Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi. Dengan formamida penyerangan kanji oleh mikroorganisma paling sedikit. Kita akan membahas beberapa pilihan reaksi iodometrik.
1. reaksi iodium-tiosulfat : Jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi maka : I3 + 2S2O3 3 I + 2S4O6 sealam reaksi zat antara S2O3 Iyang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai
S2O3 + I3 S2O3 I+ 2 I warna yang terus menjadi
2S2O3 I+ I S4O6 + I3 warna indicator muncul kembali pada
S2O3 I+ S2O3 S4O6 + I Reaksi berlangsung baik dibawah pH = 5,0, sedangkan pada larutan alkali, larutan asam hpoiodus (HOI) terbentuk.
2. Reaksi dengan tembaga : Kelebihan KI bereaksi dengan CU (II) untuk membentuk CuI dan melepaskan sejumlah ekivalen I2.
2Cu + 4 I 2CuI + I2 ; 2Cu + 3 I 2CuI + I3 Iodida berperan sebagai reduktor. Reaksi dengan Cu
Cu + e Cu E = 0,15 V; I2 + 2 e = 21 E=0,54 V dan Cu + I+ e CuI E = 0,86 V Hasil yang terbaik diperoleh dalam 4% KI. pH optimum adalah 4,0.Cu (II) pada medium alkali akan lebih sulit dioksidasi. Na2S2O3 di tambahkan secara perlahan-lahan karena iodium yang teradsorbsi dilepaskan sedikit demi sedikit. Adanya ion klorida dapat mengganggu karena iodide tidak dapat mereduksi Cu (II) secara kuantitatif.
3. Oksigen terlarut : Dengan menggunakan metode Winkler, oksigen terlarut (DO) dapat ditentukan. Dasarnya adalah reaksi antara O2 dan Mn (II) hidroksida yang tersuspensi pada media alkali. Pada penambahan asam Mn (OH)2 berubah menjadi Mn-iodida.
4. Air dengan metode Kerl Fischer : Ini meliputi titrasi sampel dalam methanol. Titik akhir titrasi sesuai dengan munculnya kelebihan I2, yang dapat dideteksi secara manual maupun dengan cara-cara elektrokimia. Reaksi adalah :
C5H5N.I2 + C5H5N.SO2 + C5H5N + H2O 2C5H5N H I + C5H5N. SO2 (Piridin N – asam sulfonat)
C5H5N.SO3 + CH3OH C5H5NO. SO2OCH3 (Piridium metal sulfat)
C5H5N.SO3 + H2O C5H5NHO. SO2OH (Piridium hydrogen sulfat)
Reaksi totalnya :
I2 + SO2 + H2O + CH3OH + 3 pyHI 2 pyHI + pyHOSO2OCH3
Metode ini sangat untuk menentukan kelembapan dan kandungan H2O dari beberapa materi. Metode dua reagen lebih baik bila sampel dan piridin methanol serta SO2 dititrasi dengan iodium dalam metanol.
2.9. Beberapa Sistem Redoks
a. Ce (IV) sulfat adalah oksidator yang sangat baik dengan indicator o-fenantrolin. Pada reaksi Ce Ce + eelectron orbital 4f-lah yang dibebaskan. Laju reaksi dipengaruhi oleh pelarut dan pembentukan kompleks. Ce (IV) selama reaksi dalam medium H2SO4, HNO3 dan HCLO4 berada dalam bentuk kompeks. Potensial formal pasangan Ce (IV)-Ce (III) adalah 1,70 V dalam HCIO4; 1,60 V dalam HNO3 dan 1,42 V dalam larutan H2SO4.
b. Kalium permanganate : adalah oksidator kuat. Tidak memerlukan indicator. Kelemahanya adalah dalam medium HCI CIdapat teroksidasi. Demikian juga kelarutannya, mempunyai kestabilan yang terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1N; MnO4 + 8 H + 5 e 4 H2O E= 1,51 V. Reaksi oksidasi terhadap H2C2O4 berjalan lambat pada temperature ruang.
c. Kalium dikromat : reaksi ini berproses seperti
Cr2O7 + 14 H + 6 e Cr + 7 H2O E= 1,33 V Zat ini mempunyai keterbatasan dibandingkan KMnO4 atau Ce (IV), yaitu kekuatan oksidasinya lebih lemah dan reaksinya lambat. K2Cr2O4 bersifat stabil dan inert terhadap HCI. Mudah diperoleh dalam kemurniaan tinggi dan merupakan standar primer. Biasanya indicator yang digunakan adalah asam difenilamin-sulfonat. Terutama digunakan untuk analisis besi (III) menurut reaksi :
6 Fe + Cr2O7 + 14 H 6 Fe + 2 Cr + 7 H2O
d. Kalium bromate : ini adalah oksidator kuat. Reaksinya: BrO + 6 H Br + 3H2O E= 1,44 V. BrO3 adalah standar primer dan sifatnya stabil. Methyl orange atau red digunakan sebagai indicator tetapi tidak sebaik nafthaflavon,quinoline yellow. Kalium Bromat banyak digunakan dalam kimia organic, missal titrasi dengan oksin. Sebagian besar titrasi meliputi titrasi kembali dengan asam arsenic.
e. Kalium iodat : banyak dipakai dalam kimia analitik IO3+ 5 I + 6 H 3 I2 + 3 H2O dan reaksi dalam titrasi Adrew’s: IO3 + Cl + 6 H +4 e ICI + 3 H2O E= 1,20 V. titrasi Andrew dilakukan pada suasana asam HCI 6 M dalam CCI4. Titik akhir ditetapkan pada saat earna unggu menghilang . Untuk mendapatkan warna titik akhir yang tepat perlu dilakukan pengocokan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar