Minggu, 22 Maret 2009

ppkn Pembantaian Terpanjang di Dunia

Pembantaian Terpanjang di Dunia

Israel kembali menuai darah. Dalam sesi terkini pembantaian di Gaza pada 27 Desember 2008 - 17 Januari 2009 tak kurang dari 1412 warga Palestina tewas. Dari jumlah tersebut 440 jiwa adalah anak-anak dan 110 wanita. Tidak hanya itu, 2000 anak-anak dan 1000 wanita telah juga menjadi korban luka-luka (www.hidayatullah.com).

Tidak sekedar menjadikannya sebagai ’penjara terbuka’ (open air prison), Israel memang telah menjadikan Gaza sebagai ladang genocide terbuka . Dan Israel tak pilih-pilih. John Mearsheimer (almanar.com) menyebutkan bahwa target serangan Israel adalah universitas, sekolah, masjid, rumah, apartemen, bangunan, kantor-kantor pemerintah, dan juga ambulan. Logika penyerangan terbuka dan tak pilih-pilih ini dijelaskan oleh seorang pejabat militer senior Israel sebagai berikut : ”There are many aspects of HAMAS, and we are trying to hit the whole spectrum, because everything is connected and everything supports terrorism against Israel,”. Dalam bahasa Israel, setiap orang adalah Teroris dan segalanya adalah target serangan yang legitimatif (Mearsheimer, 2009).

Dan ini bukan pertama kalinya. Dapat dikatakan pembantaian, penghinaan, dan penyiksaan Israel terhadap warga Palestina di daerah pendudukan (occupied territories) adalah pembantaian terpanjang dalam sejarah dunia modern. Karena praktis berlangsung sejak tahun 1948 dan tidak jelas kapan akan berakhir.

Sayangnya, hampir semua kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut luput dari pengadilan. Kejahatan perang yang ditunjukkan Israel di Jenin - Palestina, April 2002, berakhir seperti biasa. Tidak ada penindakkan hukum yang signifikan terhadap mereka. Kendati, ratusan warga sipil Palestina telah tewas dan teraniaya secara mengenaskan, namun sampai kini otoritas dan tentara Israel masih tetap tak tersentuh hukum.

 

Kitapun masih ingat dengan peristiwa berdarah pada hari Sabtu dan Ahad pekan pertama Maret 2008 di Gaza. Tentara Israel kembali menuai darah melalui operasi militer berskala besar ke bagian utara wilayah Palestina tersebut. Sebanyak 67 orang Palestina tewas sementara 320 orang lagi cedera (Republika, 03/03/08).

 
Sejak mentahbiskan diri sebagai ‘negara berdaulat’ pada tahun 1948,  beratus kali Israel melakukan kekerasan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM (Grave Breaches of Human Right), genosida (genocide)  dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity).  Disamping seri pembantaian berkelanjutan di Gaza, pembantaian di Jenin 2002 adalah satu contoh, selebihnya seperti kekerasan di Kamp Pengungsi Balata awal 2002, pembunuhan bocah Muhammad Jamal Ad-Durra (September 2000), penyerangan Shabra Shatilla di Lebanon (1982),  pembunuhan 106 warga sipil di Gedung PBB Qana, Lebanon Selatan, semakin menggenapkan citra Israel sebagai penjahat perang nomor wahid. Sebelum terjadinya serangan ke Gaza bulan Desember – Januari silam, Dr. Sami Abu Zuhri, Dosen Sejarah di Jamiah Islamiyah Gaza menyebutkan kekerasan Israel terhadap bangsa Palestina di awal Maret 2008 adalah tragedi pembantaian Palestina paling berdarah sejak 1967, karena memakan jumlah korban paling banyak. Menurut Abu Zuhri, dari total korban meninggal akibat serangan Israel itu, dua puluh lima persennya adalah anak-anak dan kaum wanita.

Kejahatan perang yang hampir sama terjadi pada pertengahan Januari 2008. Selama lima hari Israel menyetop suplai listrik, bensin, dan bantuan kemanusiaan ke Gaza, suatu kekejian yang oleh Amnesty International (2008) disebut sebagai collective punishment (hukuman kolektif).

Akibat pemutusan ini, Gaza gelap gulita. Rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, hingga perumahan hanya mengandalkan lilin dan alat penerang seadanya. Padahal, di wilayah sesempit 360km2 ini tinggal 1.5 juta rakyat Palestina (1 juta diantaranya adalah pengungsi), dimana hampir 50% diantaranya adalah kaum perempuan dan 48% diantaranya adalah anak-anak berusia kurang dari 14 tahun.

Kekerasan Kolektif untuk Warga Sipil Gaza

Kekerasan dan penderitaan warga sipil di Gaza, utamanya perempuan dan anak-anak telah berlangsung sama tuanya dengan penjajahan Israel di Palestina. Studi yang dilakukan oleh John Hopkins University (USA) dan Al Quds University (Jerusalem) untuk CARE International pada 2002 menyebutkan bahwa warga Palestina memiliki problem kesehatan dan kekurangan gizi yang tinggi. Tujuh belas setengah persen (17.5%) dari anak-anak usia 6 hingga 59 bulan menderita kekurangan gizi kronis (chronic malnutrition). Lima puluh tiga persen (53%) perempuan pada usia reproduktif dan 44% anak-anak didapati menderita anemia.

Kendati demikian, apa yang terjadi dua tahun terakhir ini sungguh luar biasa. Luar biasa karena dilakukan secara kolektif (collective punishment) oleh Israel bersama-sama quartet of Middle East (PBB, Uni Eropa, AS, dan Federasi Rusia) pasca kemenangan HAMAS pada pemilu legislatif 2006 yang menghantarkan pemimpin HAMAS, Ismail Haniya, sebagai PM Otoritas Palestina.

Kuartet Timur Tengah dan Israel menolak mengakui kepemimpinan HAMAS, kendati terpilih dalam pemilu yang demokratis. Dasar utama penolakan ini, menurut mereka, adalah karena HAMAS menolak mengakui Israel, menolak mengakui perjanjian dengan Israel yang dilakukan sebelumnya yang mengatasnamakan otoritas Palestina, dan menolak menghentikan kekerasan.

Akibat penolakan ini, maka kuartet Timur Tengah dan Israel menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap pemerintahan HAMAS dalam bentuk menahan pendapatan pajak (tax revenues) rakyat di dalam Otoritas Palestina, menghentikan bantuan internasional dari kuartet tersebut kepada Otoritas Palestina, Israel membatasi pergerakan barang masuk dan keluar teritori Palestina dan pembatasan oleh perbankan US terhadap otoritas Palestina

Ketika pemerintahan koalisi HAMAS dan FATAH pecah pada Juni 2007 yang berujung HAMAS menjadi penguasa de facto Jalur Gaza dan FATAH menguasai Tepi Barat, maka , sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Jalur Gaza semakin ketat. Sebaliknya, sanksi ekonomi terhadap Tepi Barat yang secara de facto dan de jure dikuasai FATAH diperingan.

Kendati sanksi ekonomi ini ditujukan kepada HAMAS, pada kenyataannya berdampak luas pada warga sipil, utamanya perempuan dan anak-anak. Dampak yang paling jelas adalah terjadinya darurat kesehatan. Malcolm Smart dari Amnesty International (2008) menyebutkan bahwa lebih dari 40 pasien telah tewas sejak otoritas Israel menutup perbatasan dengan Gaza pada Juni 2007. Situasi diperburuk oleh Mesir yang juga turut menutup pintu perbatasannya dengan Gaza di daerah Rafah. Akibat penutupan ini, warga Gaza terkunci di negerinya. Tak dapat pergi kemana-mana. Akses pasien ke rumah sakit di luar Gaza menjadi tertutup. Kesempatan bersekolah ataupun bekerja di luar Gaza menjadi hilang. Sementara itu Israel tetap leluasa mengontrol Gaza, karena perjanjian yang dilakukan sebelumnya memberikan hanya wilayah darat kepada otoritas nasional Palestina. Sebaliknya, wilayah udara dan laut Gaza tetap dikuasai Israel.

Penghentian pasokan listrik dan bahan bakar selama lima hari pada pertengahan Januari 2008 nyata-nyata telah mengancam kesehatan dan keselamatan seluruh penduduk Gaza. Tidak hanya rumah sakit yang menderita, warga-pun menderita kekurangan air bersih, karena listrik dan bahan bakar diperlukan untuk memompa air. Wargapun kesulitan menyimpan makanan, karena ketiadaan listrik membuat kulkas tak dapat dihidupkan. Bisa dipahami bila akhirnya warga membobol tembok perbatasan Gaza dengan Mesir hanya untuk membeli makanan dan barang keperluan sehari-hari (Yahoonews, 23/01/08).

Kekerasan dan sanksi ekonomi yang terjadi membuat warga Gaza kini hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka menggantungkan hidup hanya dari bantuan internasional. Yang itupun turut terjegal oleh blokade Israel.

Amnesty International (2008) berpendapat bahwa Israel memiliki hak untuk membela dirinya dari serangan roket maupun serangan bersenjata lainnya yang diluncurkan dari Gaza, namun adalah suatu kesalahan untuk juga turut mengorbankan orang-orang yang tak turut bertanggungjawab atas serangan roket tersebut, yaitu orang sakit, para orang tua, wanita yang tak ikut berperang, dan anak-anak.


Pelanggaran Hukum Humaniter

Tak diragukan lagi, apa yang dilakukan Israel dan kuartet Timur Tengah dalam bentuk sanksi ekonomi maupun kekerasan terhadap warga sipil non combatants adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.

Hukum humaniter atau hukum perikemanusiaan internasional adalah serangkaian kompilasi hukum dan aturan-aturan yang berusaha untuk mengurangi dampak dari sengketa bersenjata. Hukum humaniter internasional memberi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak ikut ataupun tidak lagi dapat berperang. Hukum humaniter juga mengatur sarana dan metode dalam berperang. Maka, hukum ini tidak melarang perang namun mengatur bahwa ketika perang tak dapat dicegah maka sedapatpun tetap harus memperhatikan perikemanusiaan, seperti halnya perlindungan terhadap warga sipil, tawanan perang maupun tentara yang terluka yang tak lagi dapat berperang.

Konvensi Geneva ke III tahun 1949 mengatur perlindungan terhadap warga sipil yang tak ikut berperang (non combatants), termasuk para tentara yang terluka. Mereka wajib diperlakukan sesuai standar kemanusiaan tanpa memandang SARA. Dalam arti, pembunuhan, penyiksaan, penyanderaan, penghinaan, perendahan martabat (degrading treatment) dan penghukuman sama sekali dilarang dilakukan terhadap mereka.

Konvensi ini telah diratifikasi oleh negara-negara seluruh dunia, termasuk Israel, AS, Rusia, dan negara-negara Eropa Barat. Disamping itu, Pasal 38 Konvensi Hak Anak (Children Rights Convention) 1989 juga mengatur bahwa anak-anak adalah subyek dari hukum humaniter internasional (Konvensi Geneva III 1949) yang sekali-sekali tak dapat dikorbankan ataupun dijadikan sebagai kelompok bersenjata (combatants).

Penderitaan warga sipil Palestina, utamanya di Gaza, sudah berlangsung terlalu lama. Enam puluh tahun lebih mereka dijajah Israel. Enam puluh tahun lebih mereka menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Yang menyedihkan, apabila penyebab penderitaan itu dahulu didominasi oleh Israel, kini ditambah pula oleh AS, negara-negara Eropa Barat, Rusia dan juga PBB. Atas nama sanksi ekonomi. Atas nama perdamaian di Palestina. Perdamaian macam apa yang kini didapatkan warga sipil di Gaza?

Ironisnya,  sebegitu jelas   pelanggaran yang dilakukan Israel, negeri ini tak kunjung dapat diadili di pengadilan internasional. Sangat berbeda dengan nasib Slobodan Milosevic, ‘jagal Bosnia’ mantan Presiden Yugoslavia, yang tewas di tengah hukuman seumur hidupnya di Den Haag,  ataupun Radovan Karadzic, mantan pemimpin ultranasionalis Serbia yang kini tengah diadili di kota yang sama,  ataupun jagal-jagal Rwanda (konflik suku Hutu-Tutsi di Rwanda 1994) yang juga sudah dan tengah diadili  di Tanzania.
 

Mengapa sulit menyeret Israel ke Mahkamah Kejahatan Perang? Apakah memang tak cukup bukti hukum ataukah ada faktor-faktor non hukum yang lebih menentukan? Dan, Mahkamah manakah yang paling tepat untuk mengadili kejahatan perang Israel? Tak cukup-kah landasan hukum untuk memproses kejahatan tersebut ke pengadilan internasional? Israel telah mengorbankan sekian banyak anak-anak, perempuan non combatant (yang tak ikut berperang), para orang tua, dan orang sakit. Apa salah mereka sehingga harus dikorbankan? Bukankah ini termasuk pelanggaran hukum perang (hukum humaniter?)

 
 
Beragam Bentuk Mahkamah 
Untuk mengadili suatu perkara internasional, paling tidak ada tiga bentuk mahkamah yang tersedia.  Pertama, adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Kedua, adalah Mahkamah Kejahatan Perang ad hoc/ tribunal seperti Mahkamah Nurnberg (1945), Mahkamah Tokyo (1945), Mahkamah Kriminal Internasional untuk mantan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia – ICTY) 1993, dan Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda-ICTR) 1994.  Ketiga, adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court –ICC) yang dibentuk melalui Statuta Roma pada tahun 1998.
Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice- ICJ) tak memiliki cukup yurisdiksi  untuk mengadili kejahatan perang. Mahkamah yang berdiri tahun 1946 dan merupakan organ PBB ini, berdasarkan statutanya hanya berwenang untuk mengadili sengketa internasional antar negara (para pihak dalam sengketanya adalah negara-negara) dan memberikan opini ataupun nasihat hukum kepada organ atau badan-badan internasional.. Sehingga, kasus-kasus yang ditangani 
ICJ tak jauh dari perkara pelanggaran perjanjian internasional ataupun sengketa batas antar negara.
  
Mahkamah Kejahatan Perang Ad Hoc
Dalam sejarahnya,  mahkamah kejahatan perang ad hoc mulai dikenal sejak tahun 1474, yaitu dengan timbulnya peradilan atas Peter von Hagenbach di Breisach Austria.  Ia adalah seorang gubernur/ hulubalang Pangeran Charles dari Burgundy yang bertugas di Breisach.  Dalam rangka melaksanakan tugas Pangeran, Hagenbach telah melakukan kekejaman luar biasa terhadap penduduk Breisach berupa pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Akhirnya,  persekutuan negara-negara Austria, Berne, dan Perancis sepakat untuk mengadili dan menjatuhinya hukuman mati (Sondakh, 2002).
Pada perang dunia ke II, kejahatan perang NAZI yang melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi dan kejahatan perang Jepang terhadap negara-negara lawannya membuahkan dua mahkamah, yaitu Mahkamah Nurnberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nurnberg diciptakan oleh sebuah persetujuan multilateral yang ditandatangani di London antara pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, serta pemerintahan sementara Perancis. Sedangkan mahkamah Tokyo ditetapkan oleh Proklamasi khusus dari Jenderal Mc Arthur selaku komandan tertinggi sekutu di Timur Jauh, yang kemudian mendapat limpahan kewenangan dari Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, dan Cina (Sondakh, 2002).
Mahkamah Nurnberg dan Tokyo adalah mahkamah militer yang sifatnya ad hoc. Hanya mengadili kejahatan perang kaum militer di Eropa dan Asia Timur-Pasifik  yang terutama dilakukan oleh Jerman dan Jepang pada perang dunia II.  Iapun mempunyai sifat internasional karena dibentuk melalui perjanjian antar negara, kendati sponsor utamanya tetap Amerika Serikat.
Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 955 tanggal 8 November 1994.  Yurisdiksinya adalah kejahatan genosida (genocide) kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity) dan pelanggaran Konvensi Geneva , yang terjadi di Rwanda dan negara-negara tetangganya, antara tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994. 
Sedangkan, Mahkamah Kriminal Internasional untuk Mantan Yugoslavia (ICTY) dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 687 tahun 1991. Yurisdiksinya adalah mengadili pelanggaran terhadap hukum humaniter yang terjadi dalam konflik Balkan (Mantan Negara Yugoslavia : Serbia-Bosnia-Kroasia, dll) sejak 1 Januari 1991.  Seperti kita ketahui,  konflik Balkan telah berakibat tewasnya ribuan nyawa, pemerkosaan massal, dan penganiayaan berat yang utamanya terjadi pada rakyat Bosnia.  Tak kurang dari Slobodan Milosevic, mantan presiden Yugoslavia, Radovan Karadzic, dan Ratko Mladic (belum tertangkap), telah dan akan dihadapkan ke Mahkamah yang berbasis di Den Haag atas tuduhan manjadi ‘jagal’ etnis Bosnia.
Berbeda dengan Mahkamah Nurnberg dan Tokyo, Mahkamah mantan Yugoslavia dan Rwanda ini dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB.  Persamaannya,  keduanya dapat mengadili individu-individu dan bersifat Ad Hoc.
 
Mahkamah Pidana Internasional   
Mahkamah yang lahir belakangan adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court –ICC).  Ia adalah badan peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta Roma 1998.  Tujuan ICC adalah untuk mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum internasional seperti (1) Genocide (2) Crime Against Humanity (3) Kejahatan terhadap hukum humaniter (4) Kejahatan Agresi
Tidak seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) yang menangani sengketa antar negara, ICC menangani masalah-masalah individu dan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan. ICC menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu baik sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan pemberontak.  Dalam hal ini, ia memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut. Dasar pendirian ICC adalah (1) kegagalan masyarakat internasional dalam menangani kejahatan genosida. crime against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi  (2) Banyaknya pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity).
 
Mengadili Kejahatan Perang Israel
Chibli Mallat -seorang pengacara yang menjadi kuasa hukum 23 korban kejahatan perang Israel di Shabra Shatilla, Lebanon 1982, yang akan menggugat Ariel Sharon di pengadilan Belgia-  mengatakan bahwa kesulitan menyeret Israel ke mahkamah kejahatan perang utamanya adalah menentukan tindakan Israel sebagai suatu kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) ataupun sebagai pembantaian massal  (genocide) (Ummahnews.com, 2002).  Karena, kendati tersedia cukup saksi dan cukup bukti prosesnya teramat sulit.
Sebutlah kasus Jenin, April 2002.  Harian The Independent, terbitan Inggris, menyebutkan bahwa 50 orang tewas di Jenin termasuk warga sipil, perempuan,
orang tua dan dan anak-anak.  Bahkan,  utusan PBB, Terje Roed Larsen, yang sempat datang ke Jenin mengaku sangat ‘shock’. “Saya melihat dua orang anak
mengangkat jenazah ayahnya dari reruntuhan dan sayapun melihat seorang anak berumur 12 tahun-an tertimbun tanah dan nyaris gosong.   Para pekerja kemanusiaan yang ada di Jenin semuanya nyaris tak mempercayai penglihatannya. “They have never seen anything like it,” ujar Larsen (ummahnews.com, April 2002).
Israel melarang Tim Pencari Fakta PBB untuk datang ke Jenin, kecuali tim tersebut diperlengkapi dengan ahli militer dan pakar anti teroris. Pula, Israel melarang Tim Kemanusiaan seperti Palang Merah Internasional (ICRC) untuk datang ke Jenin.  Wajarlah kalau U.S. Secretary of The State, Collin Powell, mengatakan bahwa tak tersedia cukup bukti untuk menuntut Israel. Tak ada kuburan massal dan tak ada ratusan warga sipil yang tewas (ummahnews.com, April 2002). 
Pembangkangan Israel terhadap PBB ini bukan pertama kalinya.  Pada 18 April 1996 Israel menewaskan 106 pengungsi sipil yang bermukim di dalam gedung PBB di Qana, Lebanon Selatan. Mereka menyerang gedung tersebut dalam suatu operasi yang disebut “Operation Grapes of Wrath”.  Majelis Umum PBB menyatakan bahwa tindakan Israel ini sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan  warga sipil dalam peperangan (Konvensi Geneva ke IV tahun 1949 dan Protokol Tambahan ke I tahun 1977).
Buntutnya, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi no. 50 tanggal 25 April 1996 yang intinya membentuk satu tim investigasi untuk kasus Qana. Tim tersebut menyimpulkan bahwa penyerangan tersebut adalah suatu kesengajaan dan kecil kemungkinannya hanya suatu kecelakaan belaka.  Namun, ketika mantan Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali akan menerbitkan laporan investigasi tersebut, serentak pihak Israel mengancam bahwa Ghali akan kehilangan jabatannya dan ia terpaksa harus menerbitkan laporan revisi. Israel tetap bersikap bahwa penyerangan tersebut adalah ‘kesalahan teknis dan kesalahan prosedur’ (ummahnews.com, April 2002).  
Arogansi dan lobby politik tingkat tinggi Negara Yahudi tersebut memang merupakan kendala yang menyebabkan kejahatan perang Israel sulit untuk dapat diseret ke mahkamah kejahatan perang.  Disamping itu, persoalan berikutnya yang tak kalah pelik adalah : mahkamah mana yang paling layak digunakan?
Menilik statuta masing-masing mahkamah, sudah cukup jelas bahwa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah yang paling sesuai. Pasalnya,  Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tak memiliki cukup kewenangan.  Mahkamah Kriminal Internasional Ad Hoc seperti mahkamah Rwanda dan Yugoslavia juga tidak, karena ia bersifat sementara (ad hoc) dan hanya memiliki yurisdiksi sejauh di wilayah yang diatur dalam statutanya. 
Untuk membuat mahkamah ad hoc tersendiri (Sebutlah Mahkamah Kriminal Internasional untuk Israel) juga agak sulit.  Sebab, merujuk mahkamah Yugoslavia dan Rwanda,  kedua mahkamah tersebut dibentuk oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB atas tekanan dan ‘persetujuan” dari Negara-negara besar.  Di sisi lain, tidak mudah untuk mendesak Dewan Keamanan PBB yang para anggotanya belum memiliki kesamaan pensikapan (dan kesamaan kepentingan) terhadap konflik Israel –Palestina, untuk bersikap tegas kepada Israel.
Persoalan berikutnya,  mahkamah Rwanda dan Yugoslavia lahir sebelum Mahkamah Pidana Internasional (ICC) lahir melalui Statuta Roma pada tahun 1998.  Kini, setelah ada ICC, tentunya misi mengadili penjahat perang paling tepat dilakukan oleh ICC.  
 
Kelemahan Mahkamah Pidana Internasional
Kendati menjadi ‘harapan satu-satunya’ untuk  menyeret kejahatan perang Israel, tak urung Mahkamah Pidana Internasional (ICC) –pun memiliki sejumlah kelemahan.  Antara lain, pertama, Statuta Roma sebagai dasar pembentukan ICC tidak berlaku surut, artinya kejahatan perang sebelum Statuta ini lahir (1998) besar kemungkinan sulit untuk diadili.  Kedua, ICC hanya bisa dijalankan setelah Statuta dinyatakan berlaku (minimal 60 negara telah meratifikasi). Ketiga, meskipun bukan organ PBB, namun Dewan Keamanan berperan penting dalam operasional mahkamah ini. Keempat, otoritas hukum nasional didahulukan dan
dihargai. Jerry Fowler (2000) menyebutkan bahwa peran Dewan Keamanan PBB sangat besar dalam operasional mahkamah. Peran mana menimbulkan protes dari negara India yang menyebutkan bahwa pemberian peran kepada Dewan Keamanan dalam Statuta Roma adalah melanggar hukum internasional. Karena, di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat mensponsori ataupun merujuk pada sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi pihak dalam piagam PBB (berdasarkan mandat pada bab VII piagam PBB)  juga untuk menunda penyelidikan dan penuntutan sampai setahun lamanya (pasal 16 Statuta Roma).
 Dewan keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Dewan ini terdiri atas  15 anggota PBB, 5
anggota tetap (RRC, Inggris, AS, Rusia, dan Perancis) dan 10 anggota tidak tetap yang dipilih setiap dua tahun.  Hak veto para anggota tetap ini menurut De
Rover (2000) menimbulkan masalah penting dan ketidakjelasan dalam prosedur pemungutan suara. 
Dalam kasus Israel, misalnya,  Dewan Keamanan sangat memiliki otoritas untuk membentuk mahkamah kejahatan perang ad hoc, ataupun sekedar menjadi sponsor untuk pembentukan ICC bagi Israel. Namun, apakah hal tersebut sudah dilakukan Dewan Keamanan? Tidak jelas. 
Kelemahan mendasar  lainnya dari ICC adalah otoritas hukum nasional didahulukan dan dihargai.  Padahal, dalam kasus Israel, sudah sangat jelas bahwa berdasarkan apa yang terjadi selama ini, hukum Negara Israel cenderung malah melindungi para jagal dan penjahat perang tersebut dengan dalih yang dicari-cari. Bagaimana mungkin otoritas hukum nasional didahulukan dalam kondisi demikian?
 
 
Penutup
Keadilan haruslah ditegakkan.  Belajar dari Kabinet Belanda pimpinan Wim Kok yang membubarkan diri karena bertanggungjawab atas perilaku pasukan PBB asal Belanda yang membiarkan terjadinya pembantaian terhadap etnis Bosnia di depan mata mereka di Srebrenica (1995),  Israel sebagai negara yang mengaku ‘berdaulat’ dan telah melakukan langsung sejumlah kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, semestinya berada di garda terdepan dalam menindak para penjahat perangnya.  Apalagi Israel telah meratifikasi begitu banyak perjanjian internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM).   
Karena sikap unable dan unwilling dari Israel),  tanggungjawab berikutnya tentunya terletak pada PBB, utamanya Dewan Keamanan, untuk mensponsori penyelidikan, penuntutan, dan mahkamah kejahatan perang untuk Israel. 
Dewan Keamanan memiliki cukup otoritas untuk membentuk mahkamah kejahatan perang ad hoc, ataupun –setelah lahirnya ICC-  untuk mensponsori mahkamah pidana internasional untuk Israel. Segala saksi dan alat bukti sudah tersedia, kendati untuk membuktikannya perlu perjuangan keras.  Yang belum ada, barangkali, adalah kemauan dari Dewan Keamanan.  
Tanggungjawab ketiga, tentunya dari masyarakat internasional, utamanya negara-negara berpenduduk muslim, untuk mendesak Dewan Keamanan agar bersikap fair sekaligus tegas dalam konflik Israel-Palestina. 
Apabila kesemua upaya tersebut sulit diwujudkan,  artinya bangsa Palestina dan masyarakat dunia memang tak perlu terlalu bergantung  dan berharap pada PBB.  Sehingga, jangan salahkan mereka kalau mereka memilih jalan perjuangannya sendiri. Dengan intifadhah, bom bunuh diri, peluncuran roket-roket, perjuangan bersenjata, dan sebagainya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar