Selasa, 17 Maret 2009

MITIGASI GLOBAL WARMING




MITIGASI GLOBAL WARMING


Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca yang menurut sebagian ahli disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas karbon dioksida (CO2) dan partikel polutan lainnya di atmosfer bumi. Jika diibaratkan dengan selimut, gas-gas tersebut akan menghalangi energi panas yang dipantulkan kembali oleh bumi ke ruang angkasa.

Untuk membayangkan efek rumah kaca ini sangat mudah. Mungkin ada di antara kita yang sudah pernah merasakan bagaimana ketika pertama kali memasuki sebuah mobil yang diparkir di tempat yang panas. Temperatur di dalam mobil akan terasa lebih panas daripada temperatur di luar, karena energi panas yang masuk ke dalam mobil terperangkap di dalamnya dan tidak bisa keluar. Pada kondisi yang normal, efek rumah kaca adalah bermanfaat, karena dengan demikian bumi akan menjadi hangat dan dapat menjadi tempat hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa efek rumah kaca, bagian bumi yang tidak terkena sinar matahari akan menjadi sangat dingin seperti di dalam freezer lemari es anda. Sejarah terbentuknya Bumi hingga bisa ditempati oleh manusia seperti saat ini sebenarnya tak lepas dari akibat efek rumah kaca. Jadi sebenarnya efek rumah kaca itu sudah ada sejak jaman dahulu kala seiring dengan proses terbentuknya bumi.

Kondisi akan menjadi tidak baik ketika kandungan gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi semakin hari semakin meningkat lebih dari kadar sustainable-nya. Dengan semakin meningkatnya kadar gas-gas rumah kaca tidak secara normal, maka semakin memanas pula bumi kita secara ekstrim, akibatnya akan terjadi pencairan es di daerah kutub yang dapat menenggelamkan sebagian daratan tempat manusia dan makhluk-makhluk hidup darat lainnya tinggal.

Seperti dikutip dalam banyak laporan ilmiah, prinsip penyebab global warming adalah peningkatan di seluruh dunia pada gas asam arang, oksida belerang, oksida nitrogen, metana, uap air, dan CFCs. Kendaraan jalan raya yang berbagai macam jenisnya diperkirakan menyumbang 77% dari total efek rumah kaca di Amerika Serikat. Prosentase yang sama dapat diramalkan pada negara-negara yang lain. Perlu menjadi catatan, dari tahun 1990 hingga 2001, gas-gas pengotor penyebab efek rumah kaca atau disebut Green House Gas (GHG) untuk Amerika Serikat meningkat 24,3%, dari 1.172 menjadi 1.456 (Gg).

Oksida-oksida belerang yang terbawa gas buang, sebagian berupa SO2 yang diemisikan ke udara dapat teroksidasi menjadi SO3 yang apabila bereaksi dengan uap air menjadi kabut asam sehingga menimbulkan turunnya hujan asam.

Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan). Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.

Zat nitrogen oksida ini dapat menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah bereaksi di atmosfer, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel nitrat ini pula, jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air di awan akan membentuk asam. Akhirnya zat-zat oksida ini bereaksi dengan asap bensin yang tidak terbakar dan zat-zat hidrokarbon lain di sinar matahari dan membentuk ozon rendah atau "smog" kabut berwarna coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian besar kota di dunia.

Gas karbon monoksida (CO) terbentuk pada pembakaran tidak sempurna. gas ini dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak menyebabkan iritasi. Reaksi yang tidak sempurna antara karbon dan oksigen adalah sebagai berikut:

C + ½ O2 → CO

Selain menghasilkan energi lebih rendah, gas CO merupakan polutan yang dapat mencemari lingkungan terutama untuk para pekerja di lingkungan tertutup. Untuk pembakaran batubara dalam pembangkit listik yang modern, pembentukan CO biasanya kecil sehingga tidak perlu dikhawatirkan karena jumlah oksigen (udara) yang dipasok biasanya sudah dihitung dan dipasok berlebih.

Uap air termasuk gas rumah kaca yang berlimpah banyaknya, diikuti karbon dioksida dan gas pengotor lain. Tanpa efek rumah kaca yang normal, temperatur bumi akan menjadi sekitar nol derajat Fahrenheit (-18°C). Jadi yang menjadi perhatian bukanlah fakta bahwa kita memiliki efek rumah kaca, tetapi apakah aktifitas-aktifitas manusia menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca tersebut.

Mitigasi pemanasan global dapat kita dilakukan dengan itikad yang kuat. Pola pikir kita sudah saatnya dibenahi. Sebagai umat manusia, kita harus menyadari bahwa ancaman global warming tak dapat ditangani tanpa tindakan tepat yang harus dilakukan. Aktifitas-aktifitas keseharian kita terutama dalam hal konsumsi sumber daya energi seyogyanya tidak memperparah atau menambah polutan dan gas-gas rumah kaca. Meskipun teknologi semakin maju dan membutuhkan banyak sumber energi tidak semestinya emisi yang ditimbulkannya dibiarkan begitu saja sehingga mencemari lingkungan. Oleh karena itu kearifan dalam penggunaan teknologi patut diperhatikan.

Pencegahan dan menghambat laju Global Warming dan perubahan iklim dapat dilakukan dengan komitmen usaha global seperti pengurangan emisi gas rumah kaca dan intensitas energi. Komitmen dunia dalam mitigasi pemanasan global dengan menurunkan tingkat emisi secara kolektif 5,2 persen dari tingkat emisi pada 1990 tetap harus diusahakan. Sejauh ini negara maju memang mengucurkan banyak dana untuk berbagai skema penyelamatan hutan di Indonesia, antara lain melalui program Clean Development Mechanism. Namun, tidak bisa tidak, mereka juga harus menurunkan tingginya tingkat konsumsi energi fosil yang menyumbang besar pada pemanasan global dan secara bertahap menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan.

Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar ketiga karbon dioksida--salah satu jenis gas rumah kaca--akibat kebakaran hutan, perlu mengambil langkah yang revolutif. Meski terlambat, inilah saatnya memprogramkan restorasi ekosistem nasional, pembangunan, dan pengelolaan hutan lestari serta moratorium logging di daerah-daerah tertentu. Pilihan kita, menahan sesaat kalkulasi ekonomi sektor ini atau bencana berkepanjangan.

Langkah adaptasi juga perlu dijalankan karena sekuat apa pun usaha kita mengurangi gas rumah kaca, kita tidak akan mampu sepenuhnya terhindar dari dampak perubahan iklim. Di berbagai negara, upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pembuatan strategi manajemen air di Australia dan Jepang atau pembangunan infrastruktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda. Inilah yang kita perlukan di Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar